Pangkat Terakhir Mayor, Tak Malu Menjadi Satpam
Bagi warga kota Malang
yang lahir di era 60-80-an mungkin tidak asing dengan Muhammad Miran.
Sosok satu ini adalah perwira polisi yang disegani mulai dari rakyat
jelata hingga wali kota. Meski sudah pensiun, nama Muhammad Miran masih melekat
di sebagian besar masyarakat Malang.
Tidak sulit menemukan
kediaman pria dengan pangkat terakhir mayor itu. Karena kiprahnya
sebagai aparat negara terkenal, maka banyak pula masyarakat yang
mengenalnya. Miran tinggal di daerah Kepuh, Kecamatan Sukun, Malang.
Jika Anda menanyakan alamat rumah Miran pada warga Kepuh, tanpa ragu
mereka akan memberitahukannya pada Anda.
Ketika merdeka.com
menyambangi kediaman Miran, tampak berbagai foto seorang pria mengenakan
seragam polisi. "Itu foto-foto saya zaman dulu sewaktu jadi polisi,"
kata Miran.
Pria kelahiran Magetan 21 Maret
1944 ini masih terlihat bugar dan gagah, tak berbeda jauh dengan foto
ketika masih bertugas sebagai polisi. Sosoknya juga sederhana dan ramah,
tampak dari pakaian yang dia kenakan. Saat dijumpai, Miran mengenakan
polo shirt dipadu celana pendek warna putih. Tak lupa senyum hangat
selalu menghiasi wajahnya.
Dengan semangat dia menceritakan
pengalamannya ketika bertugas sebagai pelindung masyarakat. Pria
bersahaja itu mulai menjadi polisi sejak 1 Juli 1964. Pengabdiannya pada
masyarakat dia tunjukkan dengan senantiasa bersikap jujur dan tanpa
pamrih. Miran pantang menerima imbalan atau suap dari orang yang
melanggar lalu lintas.
"Saya orangnya kenceng (tegas), kalau ada
yang melanggar pasti saya peringatkan," ungkapnya. Sikap tegas yang
ditunjukkan ayah tiga anak tersebut membuat dia disegani dan dihormati
warga Kota Malang.
Kini, Miran sudah purna tugas dari polisi.
Tetapi, namanya akan selalu menjadi legenda di Malang. Banyak para
pekerja yang ingin menikmati masa pensiun dengan bersantai ria. Tapi hal
ini tidak berlaku bagi Muhammad Miran. Polisi yang pernah berpangkat
sebagai mayor ini sempat menjadi kepala security di sebuah supermarket
di kawasan Blimbing, Malang.
Rasanya tidak percaya mendengar
seseorang berpangkat tinggi kemudian beralih menjadi petugas keamanan di
supermarket setelah pensiun. Tapi Miran benar-benar melakukannya.
Selama dua tahun, pada 1999 dan 2000 Miran menekuni "pangkat" barunya.
"Daripada
menganggur di rumah lebih baik beraktivitas," katanya dengan santai.
Miran tidak gengsi melakoni aktivitas barunya itu.
"Tidak ada
bedanya jadi polisi sama kepala keamanan. Bedanya cuma jumlah gajinya
saja," ujar dia lantas tertawa. Namun, pilihan Miran menjadi satpam
kurang disetujui oleh istrinya, Sutinah. Wanita 66 tahun itu merasa
tidak perlu mengejar materi lagi karena sudah berkecukupan.
"Namanya
manusia, kalau merasa kurang ya kurang terus. Tapi bapak tidak perlu
sampai bekerja seperti itu," kata Sutinah. Dia sering mendapat omongan
dari teman-temannya, tentang pekerjaan barunya sebagai satpam. "Bapak
itu memang rajin, tapi kadang suka ngerjain hal-hal yang bukan
kerjaannya. Seperti merapikan trolley, itu kan bukan tugasnya," jelas
wanita yang pernah berprofesi sebagai bidan tersebut.
Kini,
Miran tidak lagi menjadi kepala security. Dia memiliki kesibukan baru
yakni mengasuh cucunya. "Yang namanya orang tua bekerja tiada hentinya,
dulu mengurus anak, sekarang cucu. Tapi sangat menyenangkan," ungkap
Miran sambil menggendong cucunya. Selain itu, kediamannya di Kepuh juga
dimanfaatkan sebagai tempat kos para mahasiswi Universitas Kanjuruhan
Malang.
Tegur Dulu Baru Tilang, Kalau Bandel Gembesin Ban
Polisi yang sangat dikenal warga Malang, Muhammad Miran dikenal sebagai polisi yang tegas dalam menegakkan disiplin. Semua pelanggar aturan di jalan raya tak ada yang lolos dari tegurannya.
"Ketika saya mengabdi di Malang
Kota, saya bikin becak-becak itu tertib, sopir-sopir bus, angkutan
kota, truk juga tertib," ungkap Miran mengenang masa-masa pengabdiannya.
Miran
juga lekat dalam ingatan warga Kota Malang sebagai polisi 'penertib
becak'. Karena pada masa itu, banyak becak yang tak mematuhi aturan.
Misalkan parkir sembarangan, melanggar aturan lalu lintas, dan lainnya.
Jika melanggar aturan, Miran tak segan-segan untuk menegur, bahkan
menggembosi ban becak yang nakal.
Meski dikenal tegas, Miran
bukannya tak punya belas kasihan. Jika mendapati sopir truk, angkutan
kota, atau bus ketahuan sekali melanggar rambu-rambu, misalkan berhenti
di depan tanda dilarang parkir atau dilarang stop, Miran terlebih dulu
memperingatkannya.
"Kalau sampai ketahuan sama saya sekali lagi, saya tilang! Awas, ingat-ingat!" kata Miran
Menurut
Miran, yang terpenting adalah menyadarkan masyarakat atas pelanggaran
yang mereka lakukan. Ini dilakukan agar masyarakat lebih tertib menaati
peraturan lalu lintas. Ketegasan Miran ini membuatnya dihormati,
sekaligus disegani oleh masyarakat. Tak hanya tukang becak atau
masyarakat secara umum, Miran juga disegani oleh para petinggi seperti
wali kota Malang.
Miran juga dikenal sebagai polisi jujur. Dia
tak mau makan uang damai. Setiap bulan, amplop gaji Miran diserahkan
sepenuhnya pada istri. Miran percaya istrinya, Sutinah, bisa mengelola
dengan baik. Dengan bijak, Sutinah pun tidak menggunakan uang itu untuk
memanjakan anaknya.
Sebaliknya, anak-anak Miran dan Sutinah dididik untuk bekerja keras. "Uang untuk anak selalu dijatah. Jadi kalau belum waktunya dikasih yang, padahal sudah habis, ya nggak dikasih," beber Miran.
Penuturan
Miran pun dibenarkan oleh istrinya yang mengaku bahwa anak-anaknya
tidak dimanjakan dan diajarkan untuk selalu bekerja keras. "Anak-anak
saya didik kalau cari uang itu nggak mudah. Jadi nanti harus kerja keras
biar orang lain nggak semena-mena sama mereka (anak saya)," papar
Sutinah.
Miran dan Sutinah, meskipun sama-sama bekerja, memang
tidak begitu saja memberikan gajinya pada anak. Menurut Miran, anak
perlu diajarkan agar bisa disiplin sejak kecil.
Didikan Miran pada anaknya pun tidak sia-sia. Ketiga anaknya kini telah bekerja sebagai anggota TNI, pegawai bank,
dan satu lagi menjadi dokter spesialis. Prinsip selalu bekerja keras
mengantarkan ketiga anak Miran meraih kesuksesan. Itulah Miran, polisi
jujur yang bukan cuma keras di jalan, tetapi juga tegas pada
anak-anaknya.
Saya Gak Pernah Dan Gak Mau Minta Uang !
Pekerjaan seringkali dilihat sebagai cara mendapatkan uang.
Jarang sekali ditemukan orang yang menjadikan pekerjaan sebagai bentuk
pengabdian pada negara. Namun tak begitu halnya dengan Muhammad Miran,
seorang pensiunan polisi di Kota Malang dengan pangkat terakhir mayor.
Pria yang saat ini berusia 69 tahun ini sangat lekat di benak warga Malang
pada tahun 1970 sampai 1999. Selama bekerja, Miran dikenal sebagai
polisi yang tegas, disiplin, dan jujur. Tak ada sedikit pun uang suap
yang pernah mampir ke kantongnya. Dalam menjalankan kewajibannya, Miran
juga tak pernah pandang bulu.
"Ora njalukan duwit (Tidak meminta
uang) itu yang sulit. Tapi saya nggak pernah. Saya nggak mau," ungkap
Miran.
Ketika
disinggung tentang pengabdiannya pada Kota Malang, Miran menjelaskan
bahwa dirinya selalu berusaha bekerja dengan disiplin dan didasari dari
lubuk hati yang paling dalam.
"Saya mengabdi pada masyarakat Kota
Malang itu tanpa pamrih. Saya tidak mata duitan. Jika kita bekerja dari
lubuk hati yang paling dalam, semua masyarakat juga bisa menilai,"
tambah Miran.
Mulai tukang becak, anggota TNI hingga wali kota
Malang tidak berani coba-coba menantang Miran. Ketegasan yang diterapkan
Miran memang sudah diterapkannya sejak masuk ke korps kepolisian.
Ketegasan itu pun dia praktikkan di lapangan kepada semua sopir kendaraan umum dan tukang becak yang memang melakukan pelanggaran.
Para
sopir dan pengemudi becak segan juga dengan Mayor Miran. "Sopir-sopir
se Kotamadya Malang itu mesti kena sama saya semua Mas," terang Miran.
Bikin Takut Walikota Malang
Jujur, tidak tebang pilih, dan berani. Itulah sikap teladan yang dimiliki oleh pria 69 tahun bernama Muhammad Miran.
Di
tengah maraknya kasus suap yang menimpa para penegak hukum di
Indonesia, beruntung masih ada sosok polisi jujur dan tegas seperti
Miran.
Bergabung sebagai anggota polisi tahun 1964, Miran
bertekad mengabdikan diri sepenuhnya untuk menegakkan keadilan. Baginya,
kunci dari semua tugasnya adalah selalu berpegang teguh pada prinsip
dan bekerja tanpa pamrih.
"Istilahnya kalau kita berbuat yang
paling baik itu mengabdi tanpa pamrih. Kerja itu kan didasarkan dari
lubuk hati," kata Miran.
Bapak tiga anak ini dikenal sangat
tegas dalam menegakkan peraturan. Suatu ketika, Miran pernah ditugaskan
menutup jalan untuk sebuah acara.
Untuk alasan keamanan, maka
Miran pun menutup jalan tempat acara tersebut berlangsung. Padahal,
jalan tersebut merupakan salah satu jalan yang cukup ramai di Kota Malang. Hal ini pun membuat beberapa pengendara protes kepada wali kota yang saat itu dijabat Kol (Purn) HM Soesamto.
Alih-alih
mengultimatum Miran, wali kota justru menunjukkan kepasrahannya. "Sing
duwe dalan Miran, wes opo jare Miran ae (Yang punya jalan kan Miran, apa
kata Miran saja)," kata Miran dengan bercanda menirukan perkataan HM
Soesamto. Saat wali kota hendak melewati jalan tersebut, dia juga
memilih untuk memutar.
"Saya ini orangnya memang kenceng. Jadi
kalau salah, ya saya luruskan. Ya, saya nggak main-main. Kalau sekali
saya bilangin nggak bisa, ya saya tindak," ujar pria yang sempat
mengenyam pendidikan selama 3 tahun di Jurusan Sospol, Universitas
Merdeka Malang, itu.
Kini, polisi Miran sudah purnatugas. Bersama
istrinya, Sutinah, Miran yang menduduki jabatan terakhir sebagai Wakil
Ketua Primer Koperasi Malang menjalani masa tuanya dengan tenang di
rumah. Ketiga anaknya yang dididiknya dengan keras juga telah berhasil
mengecap kesuksesan seperti yang diharapkan. Mereka berprofesi sebagai
anggota TNI, pegawai bank, dan dokter spesialis.
Semua itu
tentunya berkat kerja keras dan didikan Miran sebagai polisi jujur yang
bersih. Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Sesuatu yang diawali dengan
niat yang baik pasti akan berbuah yang baik pula.
Tak Pernah Bawa Pistol, Senjatanya Pentungan Rotan
Ketegasan dan kejujuran menjadikan Miran sebagai salah satu ikon bahkan legenda hidup untuk warga Malang.
Sepak terjang Miran dalam menertibkan lalu lintas atau pertandingan
juga kerap kali menjadi obrolan menarik antarsesama orang Malang.
Salah
satunya yang pernah dibahas di sebuah forum Aremania. Dalam forum
tersebut, ada salah satu member yang menuliskan bahwa Miran itu bukanlah
orang Malang asli namun berani terhadap suporter tim sepakbola Malang.
"Suporter
sedemikian banyaknya akan lari tunggang langgang hanya karena
kedatangan satu sosok Miran yang tidak pernah membawa senjata api atau
lainnya kecuali pentungan rotan panjang khas miliknya," tulis salah
seorang di forum tersebut.
Selain pertandingan bola, Miran juga
terkadang ikut diminta untuk menjadi 'tukang tertib' untuk ajang
olahraga lainnya, seperti Road Race yang dahulu sering digelar di jalan
Veteran, Malang.
"Pernah ada Road Race di Jalan Veteran. Waktu
itu, banyak penonton yang meluber sampai menembus batas yang ditentukan.
Tiba-tiba terdengar teriakan "Mundur semua!!!" Orang-orang yang di
tempat itu pada kaget tapi tidak tahu dari mana dan siapa yang
berteriak, makanya mereka tetap tiak beranjak. Secara tiba-tiba dari
sisi utara, Miran muncul dengan tongkat 'saktinya' dan mulai
mengayun-ayunkannya. Spontan, penonton berhamburan menyelamatkan diri
dari pentungan sembari mengumpat hahaha," jelas seorang warga Malang
bernama Agung.
Para penonton saat
itu dan juga Agung paham bahwa Miran tidak mungkin memukul dan tidak ada
niatan untuk melakukannya. Dia hanya bertindak menjalankan tugas untuk
menertibkan jalannya acara. Dia hanya memberikan efek takut saja kepada
penonton.
"Saya ini orangnya memang kenceng. Jadi kalau salah, ya
saya luruskan. Ya, saya nggak main-main. Kalau sekali saya bilangin
nggak bisa, ya saya tindak," ujar pria yang sempat mengenyam pendidikan
selama 3 tahun di Jurusan Sospol, Universitas Merdeka Malang, itu.