Pangkat Terakhir Mayor, Tak Malu Menjadi Satpam
Bagi warga kota Malang
yang lahir di era 60-80-an mungkin tidak asing dengan Muhammad Miran.
Sosok satu ini adalah perwira polisi yang disegani mulai dari rakyat
jelata hingga wali kota. Meski sudah pensiun, nama Muhammad Miran masih melekat
di sebagian besar masyarakat Malang.
Tidak sulit menemukan kediaman pria dengan pangkat terakhir mayor itu. Karena kiprahnya sebagai aparat negara terkenal, maka banyak pula masyarakat yang mengenalnya. Miran tinggal di daerah Kepuh, Kecamatan Sukun, Malang. Jika Anda menanyakan alamat rumah Miran pada warga Kepuh, tanpa ragu mereka akan memberitahukannya pada Anda.
Ketika merdeka.com menyambangi kediaman Miran, tampak berbagai foto seorang pria mengenakan seragam polisi. "Itu foto-foto saya zaman dulu sewaktu jadi polisi," kata Miran.
Pria kelahiran Magetan 21 Maret 1944 ini masih terlihat bugar dan gagah, tak berbeda jauh dengan foto ketika masih bertugas sebagai polisi. Sosoknya juga sederhana dan ramah, tampak dari pakaian yang dia kenakan. Saat dijumpai, Miran mengenakan polo shirt dipadu celana pendek warna putih. Tak lupa senyum hangat selalu menghiasi wajahnya.
Dengan semangat dia menceritakan pengalamannya ketika bertugas sebagai pelindung masyarakat. Pria bersahaja itu mulai menjadi polisi sejak 1 Juli 1964. Pengabdiannya pada masyarakat dia tunjukkan dengan senantiasa bersikap jujur dan tanpa pamrih. Miran pantang menerima imbalan atau suap dari orang yang melanggar lalu lintas.
"Saya orangnya kenceng (tegas), kalau ada yang melanggar pasti saya peringatkan," ungkapnya. Sikap tegas yang ditunjukkan ayah tiga anak tersebut membuat dia disegani dan dihormati warga Kota Malang.
Kini, Miran sudah purna tugas dari polisi. Tetapi, namanya akan selalu menjadi legenda di Malang. Banyak para pekerja yang ingin menikmati masa pensiun dengan bersantai ria. Tapi hal ini tidak berlaku bagi Muhammad Miran. Polisi yang pernah berpangkat sebagai mayor ini sempat menjadi kepala security di sebuah supermarket di kawasan Blimbing, Malang.
Rasanya tidak percaya mendengar seseorang berpangkat tinggi kemudian beralih menjadi petugas keamanan di supermarket setelah pensiun. Tapi Miran benar-benar melakukannya. Selama dua tahun, pada 1999 dan 2000 Miran menekuni "pangkat" barunya.
"Daripada menganggur di rumah lebih baik beraktivitas," katanya dengan santai. Miran tidak gengsi melakoni aktivitas barunya itu.
"Tidak ada bedanya jadi polisi sama kepala keamanan. Bedanya cuma jumlah gajinya saja," ujar dia lantas tertawa. Namun, pilihan Miran menjadi satpam kurang disetujui oleh istrinya, Sutinah. Wanita 66 tahun itu merasa tidak perlu mengejar materi lagi karena sudah berkecukupan.
"Namanya manusia, kalau merasa kurang ya kurang terus. Tapi bapak tidak perlu sampai bekerja seperti itu," kata Sutinah. Dia sering mendapat omongan dari teman-temannya, tentang pekerjaan barunya sebagai satpam. "Bapak itu memang rajin, tapi kadang suka ngerjain hal-hal yang bukan kerjaannya. Seperti merapikan trolley, itu kan bukan tugasnya," jelas wanita yang pernah berprofesi sebagai bidan tersebut.
Kini, Miran tidak lagi menjadi kepala security. Dia memiliki kesibukan baru yakni mengasuh cucunya. "Yang namanya orang tua bekerja tiada hentinya, dulu mengurus anak, sekarang cucu. Tapi sangat menyenangkan," ungkap Miran sambil menggendong cucunya. Selain itu, kediamannya di Kepuh juga dimanfaatkan sebagai tempat kos para mahasiswi Universitas Kanjuruhan Malang.
Tidak sulit menemukan kediaman pria dengan pangkat terakhir mayor itu. Karena kiprahnya sebagai aparat negara terkenal, maka banyak pula masyarakat yang mengenalnya. Miran tinggal di daerah Kepuh, Kecamatan Sukun, Malang. Jika Anda menanyakan alamat rumah Miran pada warga Kepuh, tanpa ragu mereka akan memberitahukannya pada Anda.
Ketika merdeka.com menyambangi kediaman Miran, tampak berbagai foto seorang pria mengenakan seragam polisi. "Itu foto-foto saya zaman dulu sewaktu jadi polisi," kata Miran.
Pria kelahiran Magetan 21 Maret 1944 ini masih terlihat bugar dan gagah, tak berbeda jauh dengan foto ketika masih bertugas sebagai polisi. Sosoknya juga sederhana dan ramah, tampak dari pakaian yang dia kenakan. Saat dijumpai, Miran mengenakan polo shirt dipadu celana pendek warna putih. Tak lupa senyum hangat selalu menghiasi wajahnya.
Dengan semangat dia menceritakan pengalamannya ketika bertugas sebagai pelindung masyarakat. Pria bersahaja itu mulai menjadi polisi sejak 1 Juli 1964. Pengabdiannya pada masyarakat dia tunjukkan dengan senantiasa bersikap jujur dan tanpa pamrih. Miran pantang menerima imbalan atau suap dari orang yang melanggar lalu lintas.
"Saya orangnya kenceng (tegas), kalau ada yang melanggar pasti saya peringatkan," ungkapnya. Sikap tegas yang ditunjukkan ayah tiga anak tersebut membuat dia disegani dan dihormati warga Kota Malang.
Kini, Miran sudah purna tugas dari polisi. Tetapi, namanya akan selalu menjadi legenda di Malang. Banyak para pekerja yang ingin menikmati masa pensiun dengan bersantai ria. Tapi hal ini tidak berlaku bagi Muhammad Miran. Polisi yang pernah berpangkat sebagai mayor ini sempat menjadi kepala security di sebuah supermarket di kawasan Blimbing, Malang.
Rasanya tidak percaya mendengar seseorang berpangkat tinggi kemudian beralih menjadi petugas keamanan di supermarket setelah pensiun. Tapi Miran benar-benar melakukannya. Selama dua tahun, pada 1999 dan 2000 Miran menekuni "pangkat" barunya.
"Daripada menganggur di rumah lebih baik beraktivitas," katanya dengan santai. Miran tidak gengsi melakoni aktivitas barunya itu.
"Tidak ada bedanya jadi polisi sama kepala keamanan. Bedanya cuma jumlah gajinya saja," ujar dia lantas tertawa. Namun, pilihan Miran menjadi satpam kurang disetujui oleh istrinya, Sutinah. Wanita 66 tahun itu merasa tidak perlu mengejar materi lagi karena sudah berkecukupan.
"Namanya manusia, kalau merasa kurang ya kurang terus. Tapi bapak tidak perlu sampai bekerja seperti itu," kata Sutinah. Dia sering mendapat omongan dari teman-temannya, tentang pekerjaan barunya sebagai satpam. "Bapak itu memang rajin, tapi kadang suka ngerjain hal-hal yang bukan kerjaannya. Seperti merapikan trolley, itu kan bukan tugasnya," jelas wanita yang pernah berprofesi sebagai bidan tersebut.
Kini, Miran tidak lagi menjadi kepala security. Dia memiliki kesibukan baru yakni mengasuh cucunya. "Yang namanya orang tua bekerja tiada hentinya, dulu mengurus anak, sekarang cucu. Tapi sangat menyenangkan," ungkap Miran sambil menggendong cucunya. Selain itu, kediamannya di Kepuh juga dimanfaatkan sebagai tempat kos para mahasiswi Universitas Kanjuruhan Malang.
Tegur Dulu Baru Tilang, Kalau Bandel Gembesin Ban
Polisi yang sangat dikenal warga Malang, Muhammad Miran dikenal sebagai polisi yang tegas dalam menegakkan disiplin. Semua pelanggar aturan di jalan raya tak ada yang lolos dari tegurannya.
"Ketika saya mengabdi di Malang Kota, saya bikin becak-becak itu tertib, sopir-sopir bus, angkutan kota, truk juga tertib," ungkap Miran mengenang masa-masa pengabdiannya.
Miran juga lekat dalam ingatan warga Kota Malang sebagai polisi 'penertib becak'. Karena pada masa itu, banyak becak yang tak mematuhi aturan. Misalkan parkir sembarangan, melanggar aturan lalu lintas, dan lainnya. Jika melanggar aturan, Miran tak segan-segan untuk menegur, bahkan menggembosi ban becak yang nakal.
Meski dikenal tegas, Miran bukannya tak punya belas kasihan. Jika mendapati sopir truk, angkutan kota, atau bus ketahuan sekali melanggar rambu-rambu, misalkan berhenti di depan tanda dilarang parkir atau dilarang stop, Miran terlebih dulu memperingatkannya.
"Kalau sampai ketahuan sama saya sekali lagi, saya tilang! Awas, ingat-ingat!" kata Miran
Menurut Miran, yang terpenting adalah menyadarkan masyarakat atas pelanggaran yang mereka lakukan. Ini dilakukan agar masyarakat lebih tertib menaati peraturan lalu lintas. Ketegasan Miran ini membuatnya dihormati, sekaligus disegani oleh masyarakat. Tak hanya tukang becak atau masyarakat secara umum, Miran juga disegani oleh para petinggi seperti wali kota Malang.
Miran juga dikenal sebagai polisi jujur. Dia tak mau makan uang damai. Setiap bulan, amplop gaji Miran diserahkan sepenuhnya pada istri. Miran percaya istrinya, Sutinah, bisa mengelola dengan baik. Dengan bijak, Sutinah pun tidak menggunakan uang itu untuk memanjakan anaknya.
Sebaliknya, anak-anak Miran dan Sutinah dididik untuk bekerja keras. "Uang untuk anak selalu dijatah. Jadi kalau belum waktunya dikasih yang, padahal sudah habis, ya nggak dikasih," beber Miran.
Penuturan Miran pun dibenarkan oleh istrinya yang mengaku bahwa anak-anaknya tidak dimanjakan dan diajarkan untuk selalu bekerja keras. "Anak-anak saya didik kalau cari uang itu nggak mudah. Jadi nanti harus kerja keras biar orang lain nggak semena-mena sama mereka (anak saya)," papar Sutinah.
Miran dan Sutinah, meskipun sama-sama bekerja, memang tidak begitu saja memberikan gajinya pada anak. Menurut Miran, anak perlu diajarkan agar bisa disiplin sejak kecil.
Didikan Miran pada anaknya pun tidak sia-sia. Ketiga anaknya kini telah bekerja sebagai anggota TNI, pegawai bank, dan satu lagi menjadi dokter spesialis. Prinsip selalu bekerja keras mengantarkan ketiga anak Miran meraih kesuksesan. Itulah Miran, polisi jujur yang bukan cuma keras di jalan, tetapi juga tegas pada anak-anaknya.
"Ketika saya mengabdi di Malang Kota, saya bikin becak-becak itu tertib, sopir-sopir bus, angkutan kota, truk juga tertib," ungkap Miran mengenang masa-masa pengabdiannya.
Miran juga lekat dalam ingatan warga Kota Malang sebagai polisi 'penertib becak'. Karena pada masa itu, banyak becak yang tak mematuhi aturan. Misalkan parkir sembarangan, melanggar aturan lalu lintas, dan lainnya. Jika melanggar aturan, Miran tak segan-segan untuk menegur, bahkan menggembosi ban becak yang nakal.
Meski dikenal tegas, Miran bukannya tak punya belas kasihan. Jika mendapati sopir truk, angkutan kota, atau bus ketahuan sekali melanggar rambu-rambu, misalkan berhenti di depan tanda dilarang parkir atau dilarang stop, Miran terlebih dulu memperingatkannya.
"Kalau sampai ketahuan sama saya sekali lagi, saya tilang! Awas, ingat-ingat!" kata Miran
Menurut Miran, yang terpenting adalah menyadarkan masyarakat atas pelanggaran yang mereka lakukan. Ini dilakukan agar masyarakat lebih tertib menaati peraturan lalu lintas. Ketegasan Miran ini membuatnya dihormati, sekaligus disegani oleh masyarakat. Tak hanya tukang becak atau masyarakat secara umum, Miran juga disegani oleh para petinggi seperti wali kota Malang.
Miran juga dikenal sebagai polisi jujur. Dia tak mau makan uang damai. Setiap bulan, amplop gaji Miran diserahkan sepenuhnya pada istri. Miran percaya istrinya, Sutinah, bisa mengelola dengan baik. Dengan bijak, Sutinah pun tidak menggunakan uang itu untuk memanjakan anaknya.
Sebaliknya, anak-anak Miran dan Sutinah dididik untuk bekerja keras. "Uang untuk anak selalu dijatah. Jadi kalau belum waktunya dikasih yang, padahal sudah habis, ya nggak dikasih," beber Miran.
Penuturan Miran pun dibenarkan oleh istrinya yang mengaku bahwa anak-anaknya tidak dimanjakan dan diajarkan untuk selalu bekerja keras. "Anak-anak saya didik kalau cari uang itu nggak mudah. Jadi nanti harus kerja keras biar orang lain nggak semena-mena sama mereka (anak saya)," papar Sutinah.
Miran dan Sutinah, meskipun sama-sama bekerja, memang tidak begitu saja memberikan gajinya pada anak. Menurut Miran, anak perlu diajarkan agar bisa disiplin sejak kecil.
Didikan Miran pada anaknya pun tidak sia-sia. Ketiga anaknya kini telah bekerja sebagai anggota TNI, pegawai bank, dan satu lagi menjadi dokter spesialis. Prinsip selalu bekerja keras mengantarkan ketiga anak Miran meraih kesuksesan. Itulah Miran, polisi jujur yang bukan cuma keras di jalan, tetapi juga tegas pada anak-anaknya.
Saya Gak Pernah Dan Gak Mau Minta Uang !
Pekerjaan seringkali dilihat sebagai cara mendapatkan uang.
Jarang sekali ditemukan orang yang menjadikan pekerjaan sebagai bentuk
pengabdian pada negara. Namun tak begitu halnya dengan Muhammad Miran,
seorang pensiunan polisi di Kota Malang dengan pangkat terakhir mayor.
Pria yang saat ini berusia 69 tahun ini sangat lekat di benak warga Malang pada tahun 1970 sampai 1999. Selama bekerja, Miran dikenal sebagai polisi yang tegas, disiplin, dan jujur. Tak ada sedikit pun uang suap yang pernah mampir ke kantongnya. Dalam menjalankan kewajibannya, Miran juga tak pernah pandang bulu.
"Ora njalukan duwit (Tidak meminta uang) itu yang sulit. Tapi saya nggak pernah. Saya nggak mau," ungkap Miran.
Pria yang saat ini berusia 69 tahun ini sangat lekat di benak warga Malang pada tahun 1970 sampai 1999. Selama bekerja, Miran dikenal sebagai polisi yang tegas, disiplin, dan jujur. Tak ada sedikit pun uang suap yang pernah mampir ke kantongnya. Dalam menjalankan kewajibannya, Miran juga tak pernah pandang bulu.
"Ora njalukan duwit (Tidak meminta uang) itu yang sulit. Tapi saya nggak pernah. Saya nggak mau," ungkap Miran.
Ketika
disinggung tentang pengabdiannya pada Kota Malang, Miran menjelaskan
bahwa dirinya selalu berusaha bekerja dengan disiplin dan didasari dari
lubuk hati yang paling dalam.
"Saya mengabdi pada masyarakat Kota Malang itu tanpa pamrih. Saya tidak mata duitan. Jika kita bekerja dari lubuk hati yang paling dalam, semua masyarakat juga bisa menilai," tambah Miran.
Mulai tukang becak, anggota TNI hingga wali kota Malang tidak berani coba-coba menantang Miran. Ketegasan yang diterapkan Miran memang sudah diterapkannya sejak masuk ke korps kepolisian. Ketegasan itu pun dia praktikkan di lapangan kepada semua sopir kendaraan umum dan tukang becak yang memang melakukan pelanggaran.
Para sopir dan pengemudi becak segan juga dengan Mayor Miran. "Sopir-sopir se Kotamadya Malang itu mesti kena sama saya semua Mas," terang Miran.
"Saya mengabdi pada masyarakat Kota Malang itu tanpa pamrih. Saya tidak mata duitan. Jika kita bekerja dari lubuk hati yang paling dalam, semua masyarakat juga bisa menilai," tambah Miran.
Mulai tukang becak, anggota TNI hingga wali kota Malang tidak berani coba-coba menantang Miran. Ketegasan yang diterapkan Miran memang sudah diterapkannya sejak masuk ke korps kepolisian. Ketegasan itu pun dia praktikkan di lapangan kepada semua sopir kendaraan umum dan tukang becak yang memang melakukan pelanggaran.
Para sopir dan pengemudi becak segan juga dengan Mayor Miran. "Sopir-sopir se Kotamadya Malang itu mesti kena sama saya semua Mas," terang Miran.
Bikin Takut Walikota Malang
Jujur, tidak tebang pilih, dan berani. Itulah sikap teladan yang dimiliki oleh pria 69 tahun bernama Muhammad Miran.
Di tengah maraknya kasus suap yang menimpa para penegak hukum di Indonesia, beruntung masih ada sosok polisi jujur dan tegas seperti Miran.
Bergabung sebagai anggota polisi tahun 1964, Miran bertekad mengabdikan diri sepenuhnya untuk menegakkan keadilan. Baginya, kunci dari semua tugasnya adalah selalu berpegang teguh pada prinsip dan bekerja tanpa pamrih.
"Istilahnya kalau kita berbuat yang paling baik itu mengabdi tanpa pamrih. Kerja itu kan didasarkan dari lubuk hati," kata Miran.
Bapak tiga anak ini dikenal sangat tegas dalam menegakkan peraturan. Suatu ketika, Miran pernah ditugaskan menutup jalan untuk sebuah acara.
Untuk alasan keamanan, maka Miran pun menutup jalan tempat acara tersebut berlangsung. Padahal, jalan tersebut merupakan salah satu jalan yang cukup ramai di Kota Malang. Hal ini pun membuat beberapa pengendara protes kepada wali kota yang saat itu dijabat Kol (Purn) HM Soesamto.
Alih-alih mengultimatum Miran, wali kota justru menunjukkan kepasrahannya. "Sing duwe dalan Miran, wes opo jare Miran ae (Yang punya jalan kan Miran, apa kata Miran saja)," kata Miran dengan bercanda menirukan perkataan HM Soesamto. Saat wali kota hendak melewati jalan tersebut, dia juga memilih untuk memutar.
"Saya ini orangnya memang kenceng. Jadi kalau salah, ya saya luruskan. Ya, saya nggak main-main. Kalau sekali saya bilangin nggak bisa, ya saya tindak," ujar pria yang sempat mengenyam pendidikan selama 3 tahun di Jurusan Sospol, Universitas Merdeka Malang, itu.
Kini, polisi Miran sudah purnatugas. Bersama istrinya, Sutinah, Miran yang menduduki jabatan terakhir sebagai Wakil Ketua Primer Koperasi Malang menjalani masa tuanya dengan tenang di rumah. Ketiga anaknya yang dididiknya dengan keras juga telah berhasil mengecap kesuksesan seperti yang diharapkan. Mereka berprofesi sebagai anggota TNI, pegawai bank, dan dokter spesialis.
Semua itu tentunya berkat kerja keras dan didikan Miran sebagai polisi jujur yang bersih. Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Sesuatu yang diawali dengan niat yang baik pasti akan berbuah yang baik pula.
Di tengah maraknya kasus suap yang menimpa para penegak hukum di Indonesia, beruntung masih ada sosok polisi jujur dan tegas seperti Miran.
Bergabung sebagai anggota polisi tahun 1964, Miran bertekad mengabdikan diri sepenuhnya untuk menegakkan keadilan. Baginya, kunci dari semua tugasnya adalah selalu berpegang teguh pada prinsip dan bekerja tanpa pamrih.
"Istilahnya kalau kita berbuat yang paling baik itu mengabdi tanpa pamrih. Kerja itu kan didasarkan dari lubuk hati," kata Miran.
Bapak tiga anak ini dikenal sangat tegas dalam menegakkan peraturan. Suatu ketika, Miran pernah ditugaskan menutup jalan untuk sebuah acara.
Untuk alasan keamanan, maka Miran pun menutup jalan tempat acara tersebut berlangsung. Padahal, jalan tersebut merupakan salah satu jalan yang cukup ramai di Kota Malang. Hal ini pun membuat beberapa pengendara protes kepada wali kota yang saat itu dijabat Kol (Purn) HM Soesamto.
Alih-alih mengultimatum Miran, wali kota justru menunjukkan kepasrahannya. "Sing duwe dalan Miran, wes opo jare Miran ae (Yang punya jalan kan Miran, apa kata Miran saja)," kata Miran dengan bercanda menirukan perkataan HM Soesamto. Saat wali kota hendak melewati jalan tersebut, dia juga memilih untuk memutar.
"Saya ini orangnya memang kenceng. Jadi kalau salah, ya saya luruskan. Ya, saya nggak main-main. Kalau sekali saya bilangin nggak bisa, ya saya tindak," ujar pria yang sempat mengenyam pendidikan selama 3 tahun di Jurusan Sospol, Universitas Merdeka Malang, itu.
Kini, polisi Miran sudah purnatugas. Bersama istrinya, Sutinah, Miran yang menduduki jabatan terakhir sebagai Wakil Ketua Primer Koperasi Malang menjalani masa tuanya dengan tenang di rumah. Ketiga anaknya yang dididiknya dengan keras juga telah berhasil mengecap kesuksesan seperti yang diharapkan. Mereka berprofesi sebagai anggota TNI, pegawai bank, dan dokter spesialis.
Semua itu tentunya berkat kerja keras dan didikan Miran sebagai polisi jujur yang bersih. Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Sesuatu yang diawali dengan niat yang baik pasti akan berbuah yang baik pula.
Tak Pernah Bawa Pistol, Senjatanya Pentungan Rotan
Ketegasan dan kejujuran menjadikan Miran sebagai salah satu ikon bahkan legenda hidup untuk warga Malang.
Sepak terjang Miran dalam menertibkan lalu lintas atau pertandingan
juga kerap kali menjadi obrolan menarik antarsesama orang Malang.
Salah satunya yang pernah dibahas di sebuah forum Aremania. Dalam forum tersebut, ada salah satu member yang menuliskan bahwa Miran itu bukanlah orang Malang asli namun berani terhadap suporter tim sepakbola Malang.
"Suporter sedemikian banyaknya akan lari tunggang langgang hanya karena kedatangan satu sosok Miran yang tidak pernah membawa senjata api atau lainnya kecuali pentungan rotan panjang khas miliknya," tulis salah seorang di forum tersebut.
Selain pertandingan bola, Miran juga terkadang ikut diminta untuk menjadi 'tukang tertib' untuk ajang olahraga lainnya, seperti Road Race yang dahulu sering digelar di jalan Veteran, Malang.
"Pernah ada Road Race di Jalan Veteran. Waktu itu, banyak penonton yang meluber sampai menembus batas yang ditentukan. Tiba-tiba terdengar teriakan "Mundur semua!!!" Orang-orang yang di tempat itu pada kaget tapi tidak tahu dari mana dan siapa yang berteriak, makanya mereka tetap tiak beranjak. Secara tiba-tiba dari sisi utara, Miran muncul dengan tongkat 'saktinya' dan mulai mengayun-ayunkannya. Spontan, penonton berhamburan menyelamatkan diri dari pentungan sembari mengumpat hahaha," jelas seorang warga Malang bernama Agung.
Para penonton saat itu dan juga Agung paham bahwa Miran tidak mungkin memukul dan tidak ada niatan untuk melakukannya. Dia hanya bertindak menjalankan tugas untuk menertibkan jalannya acara. Dia hanya memberikan efek takut saja kepada penonton.
"Saya ini orangnya memang kenceng. Jadi kalau salah, ya saya luruskan. Ya, saya nggak main-main. Kalau sekali saya bilangin nggak bisa, ya saya tindak," ujar pria yang sempat mengenyam pendidikan selama 3 tahun di Jurusan Sospol, Universitas Merdeka Malang, itu.
Salah satunya yang pernah dibahas di sebuah forum Aremania. Dalam forum tersebut, ada salah satu member yang menuliskan bahwa Miran itu bukanlah orang Malang asli namun berani terhadap suporter tim sepakbola Malang.
"Suporter sedemikian banyaknya akan lari tunggang langgang hanya karena kedatangan satu sosok Miran yang tidak pernah membawa senjata api atau lainnya kecuali pentungan rotan panjang khas miliknya," tulis salah seorang di forum tersebut.
Selain pertandingan bola, Miran juga terkadang ikut diminta untuk menjadi 'tukang tertib' untuk ajang olahraga lainnya, seperti Road Race yang dahulu sering digelar di jalan Veteran, Malang.
"Pernah ada Road Race di Jalan Veteran. Waktu itu, banyak penonton yang meluber sampai menembus batas yang ditentukan. Tiba-tiba terdengar teriakan "Mundur semua!!!" Orang-orang yang di tempat itu pada kaget tapi tidak tahu dari mana dan siapa yang berteriak, makanya mereka tetap tiak beranjak. Secara tiba-tiba dari sisi utara, Miran muncul dengan tongkat 'saktinya' dan mulai mengayun-ayunkannya. Spontan, penonton berhamburan menyelamatkan diri dari pentungan sembari mengumpat hahaha," jelas seorang warga Malang bernama Agung.
Para penonton saat itu dan juga Agung paham bahwa Miran tidak mungkin memukul dan tidak ada niatan untuk melakukannya. Dia hanya bertindak menjalankan tugas untuk menertibkan jalannya acara. Dia hanya memberikan efek takut saja kepada penonton.
"Saya ini orangnya memang kenceng. Jadi kalau salah, ya saya luruskan. Ya, saya nggak main-main. Kalau sekali saya bilangin nggak bisa, ya saya tindak," ujar pria yang sempat mengenyam pendidikan selama 3 tahun di Jurusan Sospol, Universitas Merdeka Malang, itu.